Iman Yang Dewasa

Beragama pada dasarnya meyakini ajaran yang dianut sebagai suatu kebenaran. Tapi bagaimana dengan ajaran agama lain? Ada puluhan agama berkembang di sekitar kita. Kalau agama saya benar, bagaimana dengan agama-agama itu? Agama pada umumnya hanya menerima kebenaran tunggal. Maka penganut agama pada umumnya yakin bahwa agama dia benar, sedangkan agama lain keliru.

Sampai di situ sebenarnya tak jadi masalah. Biarlah setiap orang meyakini kebenaran agama masing-masing. Masalah muncul ketika ada yang mencoba mengadu kebenaran agama-agama. Khususnya, dua agama yang berhubungan satu sama lain, seperti Islam dan Kristen. Keduanya membahas sosok yang sama, yaitu Isa Al-Masih atau Yesus Kristus, tapi dengan konsep yang berbeda. Bagi orang tertentu, ada godaan untuk membandingkan, dan menjawab pertanyaan, mana yang benar dari kedua ajaran tadi.

Karena ada yang tertarik pada kajian jenis itu, ada penyedianya. Biasanya yang menyediakan adalah orang yang pindah agama. Di agama barunya ia akan jadi orang yang lebih tahu soal agama lama, tahu pula kesalahan-kesalahannya. Ditambah pengalaman spiritualnya yang meyakinkan bahwa agama lama itu salah, dan agama barulah yang benar. Para pendengarnya mendapat tambahan energi untuk lebih yakin.

Orang-orang itu tidak sadar bahwa semua itu subjektif belaka. Ketika seseorang meyakini sesuatu sebagai kebenaran, maka segala sesuatu tentangnya serba benar belaka. Sebaliknya, segala sesuatu yang bukan tentangnya serba keliru. Tak ada yang istimewa soal itu. Sadarilah bahwa kalau kita menemukan kesalahan-kesalahan pada kitab orang lain, orang lain pun menemukan kesalahan-kesalahan pada kitab kita. Kenapa? Karena ini cuma soal kebenaran subjektif.

Kajian seperti ini sebenarnya tidak mendewasakan. Iman pada dasarnya sudah benar, cukup dengan keyakinan pada diri sendiri. Tidak perlu kesalahan pada iman orang lain untuk meyakini kebenaran iman sendiri. Itu adalah iman yang dewasa. Karena itu seharusnya para pemeluk agama menggunakan energinya untuk menggali kebenaran ajaran agamanya sendiri.

Lebih dari itu, mereka seharusnya menggunakan sebanyak mungkin energi untuk memberi manfaat kepada orang lain, baik yang seagama maupun tidak. Agama menuntun orang untuk jadi orang baik. Berusahalah untuk tetap baik, dan menjadi lebih baik lagi. Itu sebenarnya sebuah usaha yang memerlukan sangat banyak energi. Kalau setiap umat beragama fokus untuk melakukan hal itu, mereka tidak akan punya energi untuk mempertanyakan kebenaran agama orang lain.

SUMBER

Copyright © 2011 - 2023 | isme1989