Islam Dengan Logika

Bagaimana jika Hukum Islam seperti hukum nikah, hukum waris, perdagangan, pidana, dan semua tentang muamalah itu sebenarnya tidak ada? Hukum Islam yang wajib diikuti secara detail hanyalah hukum yang mengurusi ibadah mahdhah atau ibadah vertikal.

Semua yang dilakukan Nabi saat beliau hidup bukanlah hukum yang harus kita tiru di zaman sekarang. Nabi saat itu hanyalah memberi contoh. Yang Nabi lakukan itu benar saat itu, namun bukan berarti semuanya harus kita tiru sama persis sekarang.

Selain untuk urusan ibadah kepada Allah, tak ada itu yang namanya hukum Islam. Yang ada hanyalah akhlak Islam. Nabi bukan membuat hukum Islam, namun Nabi hanya memberi contoh dalam membuat aturan.

Misalnya, Nabi mengadakan beberapa perjanjian dengan warga Madinah saat itu. Apakah hasil perjanjian Nabi saat itu harus kita ikuti sampai sekarang? Tentu tidak. Nabi hanya mencontohkan bahwa bahwa hidup itu memang harus bersepakat dengan masyarakat di zamannya.

Jika saat ini di pendidikan Islam mengajarkan semua hukum yang dibuat Nabi saat itu, saya tidak menyalahkan. Namun itu adalah pelajaran sejarah, bukan hukum syariah yang harus kita ikuti dengan sama persis di zaman sekarang.

Ketika Nabi buat aturan pada saat itu, termasuk yang disebutkan di Quran, aturannya pasti tak jauh beda dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat di budaya arab sebelum Nabi berdakwah. Entah itu hukum pernikahan, hukum waris, perdagangan, atau hukum pidana.
Semua itu adalah aturan yang bisa diterima logika saat itu. Sedangkan jika sekarang kondisi masyarakat sudah berbeda, tentu saja aturan juga harus berbeda dan tak mungkin dibuat sama persis dengan yang ditentukan Nabi saat itu.

Misalnya, jika saat itu perempuan tak boleh bekerja atau perannya dibatasi, apakah perempuan sekarang tak boleh pergi sekolah atau berkarir? Tentu tidak.

Jika saat itu perempuan dapat warisan setengah dari laki-laki, apakah sekarang juga harus sama seperti itu? Bagi saya tidak.

Jika saat itu perempuan yang mau menikah harus diwakili oleh wali, apakah saat ini juga harus sama? Tidak.

Jika saat itu perempuan menikah tidak dibatasi minimal usianya, apakah saat ini perempuan kita perbolehkan menikah di usia belia? Sama sekali tidak mungkin.

Jika saat itu perempuan harus melewati masa iddah saat akan menikah lagi (untuk memastikan dia tidak dalam kondisi hamil), apakah saat ini masih harus diterapkan di saat kita sudah punya alat untuk mengetes kehamilan? Jelas tidak.

Jika saat itu dalam perjanjian Nabi dan masyarakat Madinah ada pajak-pajak yang diterapkan ke warga dengan segala aturannya, apakah sekarang kita juga harus memakai sistem yang sama? Jelas sekali tidak.

Jika saat itu seorang pencuri bisa dihukum potong tangan, apakah rasa keadilan saat itu bisa diterima logika manusia global di zaman sekarang? Tidak mungkin.

Kita tak mungkin memakai logika zaman dulu hanya untuk mengklaim itu hukum Islam atau bahkan mengklaim itu hukum Allah. Jika kita terus menganggap itu sebagai hukum Islam, maka Islam akan sulit diterima masyarakat dunia saat ini.

Jangankan bisa diterima logika manusia masa depan yang perubahan pola pikirnya semakin cepat, menurut logika manusia saat ini secara umum saja sudah tidak bisa menerima itu.

Jika saat ini para santri belajar tentang hukum yang dibuat Nabi sebagai masukan saat membuat aturan saat ini, tentu bagus. Namun yang lebih penting adalah tahu kenapa Nabi memutuskan membuat aturan seperti itu.

Kita juga harus tahu bagaimana aturan hukum sebelumnya, apa yang diubah, apa yang tetap dipakai, dan seterusnya. Itu yang seharusnya kita gali lebih jauh. Itu jauh lebih penting dibanding kita meniru persis aturan yang dibuat belasan abad yang lalu.
Nah, kalau hal-hal berat saja bukan ajaran Islam yang harus kita ikuti, apalagi hal-hal kecil dan remeh lain yang sering kali diperbincangkan dan dianggap sebagai hukum Islam yang harus diikuti.

Misalnya memakai siwak, belajar berkuda, belajar memanah, cara berpakaian, atau hal-hal privasi hubungan suami istri yang sering kali dianggap "ada hukum Islam-nya".

Kita pasti sering menemui tulisan berjudul, misalnya: "Hukum Mencukur Bulu Kemaluan Menurut Islam", “Hukum Istri Memakai Celana Dalam Ketika Tidur Bersama Suami”, atau: "Hukum Mencium kemaluan Istri Menurut Islam". Ya Allah, kenapa Islam mengurusi hal-hal seperti itu?

Yang paling tenar di Indonesia adalah hubungan seksual suami istri di malam Jumat yang sering disebut sebagai sunnah Nabi. Ah, betapa hal-hal seperti itu sangat merendahkan ajaran Islam.

Hubungan sesama manusia itu berdasarkan kesepakatan seperti halnya Nabi melakukan perjanjian di zamannya. Hasil kesepakatan itulah yang harus kita jalankan sebagai umat Islam.

Misalnya sekarang kita telah bersepakat dengan seluruh bangsa Indonesia dalam membentuk sebuah negara dengan segala peraturannya, maka itulah aturan yang wajib kita jalankan.

Jika kita bersepakat bahwa memilih kepala pemerintahan dengan cara demokrasi, dengan pemilu, pilih wakil rakyat, maka itu wajib kita laksanakan.

Jika saat ini kita sepakat bahwa laki-laki dan perempuan dewasa punya derajat yang sama, maka kita tempatkan keduanya secara seimbang.

Jika ada dalam sebuah keluarga bersepakat bahwa istri yang bekerja dan mencari nafkah, suami yang mengurus rumah tangga dan anak, maka itulah kesepakatan yang memang harus dilaksanakan keluarga tersebut.

Jika kita bersepakat bahwa negara berhak mencampuri kehidupan keluarga yang ada tindakan kekerasan atau penindasan lain, maka itu juga yang harus kita taati.

Jika kita bersepakat bahwa ada batasan minimal untuk usia pernikahan, maka itu harus kita ikuti. Bukan berdalih dulu Nabi melakukan pernikahan dengan wanita di bawah umur lalu menganggap itu ajaran agama yang bisa kita tiru sekarang.

Jika kita bersepakat bahwa poligami harus melewati persetujuan istri tua, maka itu harus kita ikuti sekarang. Bukan berdalih aturan yang saat itu dipakai Nabi.

Poligami bukanlah ajaran Islam. Apalagi disebut Islam menganjurkan itu. Itu omong kosong.

Islam tidak mengurusi laki-laki mau memiliki berapa istri. Termasuk Islam juga tidak membatasi hanya boleh maksimal punya 4 istri. Islam sama sekali tak membatasi, namun juga tidak mengajarkan. Semua tergantung bagaimana kesepakatan sosial kita saat ini.

Misalnya di zaman dulu, seorang kaisar di kerajaan Tiongkok, itu punya selir bisa sampai ribuan. Ini bisa jadi terjadi di kerajaan atau kepemimpinan manapun di dunia ini. Islam tak mengatur masalah itu. Itu kembali ke aturan dan norma masyarakat yang berlaku.

Misal sekarang ini perempuan sudah setara dengan laki-laki, maka kita tak perlu berpromosi seakan-akan poligami adalah ajaran agama. Poligami memang tak dilarang agama, tapi di zaman ini jelas kita harus lebih menghormati posisi wanita jika memang ingin melakukan poligami.

Sudah jelas Nabi saat itu melakukan banyak kesepakatan. Maka kita sudah seharusnya bersepakat dengan manusia lain di zaman sekarang. Bukan mengikuti hasil kesepakatan Nabi dengan masyarakat di zaman itu.

Islam seharusnya bisa dinamis dan bisa diterima di seluruh budaya yang ada termasuk saat menghadapi perubahan zaman yang makin hari makin cepat seperti sekarang ini. Tapi kalau tetap seperti sekarang ini, coba bayangkan saja apa mungkin Islam bisa diterima di masa depan?

Dunia sudah sangat maju saat ini. Jika kita tak bisa membawa Islam sesuai dengan logika masyarakat dunia masa depan, maka Islam akan ditinggalkan. Sudah saatnya penafsiran Islam yang membawa Islam berwajah seperti Taliban, ISIS, Al Qaeda, HTI, atau FPI itu kita hilangkan.

Jangankan di masa depan, saat ini saja kita sudah banyak ditinggalkan umat Islam. Meski mungkin tetap ber-KTP Islam, tapi di medsos sudah bangga dengan status atheis atau murtad-nya. Kenapa mereka keluar Islam? Karena penafsiran Islam sudah tak masuk logika mereka.

Saat ini bisa dibilang ada 4 macam muslim:
  1. Fanatisme kuat, logika kuat, hasilnya moderat;
  2. Fanatisme kuat, logika lemah, hasilnya Islam garis keras;
  3. Fanatisme lemah, logika kuat, hasilnya atheis/murtad;
  4. Fanatisme dan logika lemah, hasilnya muslim apatis/hedonis.

Tipe nomor 3 ada yang berani deklarasi atheis/murtad namun ada juga yang tak berani karena dia publik figur. Biasanya karena dia artis atau politikus yang takut kehilangan pasar. Yang jelas mereka tak lagi beribadah. Hmm.. Banyak kah? Banyak lah..

Jika tak berubah, Islam akan terus ditinggalkan umatnya. Saatnya menafsirkan ulang Islam. Saatnya menatap wajah Islam yang baru di masa depan. Agama tanpa kekerasan. Agama damai yang sebenarnya. Rahmatan lil alamin yang sebenar-benarnya.

Jika Anda belum setuju dengan pendapat saya, percayalah, anak atau cucu Anda nanti akan setuju dengan logika ber-Islam seperti ini.

SUMBER

Copyright © 2011 - 2023 | isme1989