Ngeyel
 
Akhir-akhir ini kita sering disuguhi berita tentang berbagai orang yang tampak bangga ketika mereka bisa melanggar aturan, menentang aturan, bahkan membangkang. Mereka seolah telah meraih suatu prestasi luar biasa. Tidak sedikit yg memvideokan. Kemudian ketika video itu menjadi viral, dan sejumlah instansi yang berwenang di-tag, atau bahkan sudah didatangi oleh petugas yg berwenang, biasanya segera keluar video klarifikasi, minta maaf, khilaf, mohon tidak dibesar-besarkan, minta tidak diproses, dst. Tentu video yg ke-2 biasanya sangat jauh berbeda dengan video pertama yg tampak sangat garang, jago, siap perang, siap melawan pemerintah, siap ditangkap, siap dipenjara, dst. Sedangkan video ke-2 biasanya tampak sedih, mewek, menyesal, dst. Anehnya, pola seperti itu tidak terjadi sekali, bahkan berulang-kali. Seakan-akan sudah ada SOP-nya. 

Kita lantas mungkin jadi berpikir bahwa ada aktor intelektual yang mendorong mereka untuk melakukannya dan memberikan petunjuk cara melakukannya serta "exit strategy"-nya. Biasanya penentangan dilakukan dengan lebih bersemangat lagi apabila terkait dengan agama. Misalnya, himbauan/larangan untuk tidak mengadakan ibadah berjamaah. Pasti deh semangat sekali, bahkan ada video yg menyatakan mau siap perang, demi agamanya. Tapi apakah sebenarnya hal ini sesuatu yg unik? Atau jangan-jangan hal menentang, ngeyel, dan ndableg itu sudah membudaya, sudah tertanam dalam jiwa banyak orang?

Saya bukan pendidik, bukan psikolog, bukan ahli ilmu sosial. Saya tak bisa menjawabnya secara akademis. Saya cuma mau menyampaikan dari pengamatan saja. Barangkali banyak dari antara kita ketika remaja begitu bangga kalau bisa melanggar aturan. Baik aturan keluarga, aturan sekolah, aturan polisi lalu-lintas, dan segala macam aturan lainnya. Kita bangga kalau bisa membolos tanpa ketahuan, bangga bisa menyerobot antrean. Kita bangga kalau bisa menerobos palang kereta. Bangga kalau bisa lolos ke mana-mana mengendarai motor atau mobil tanpa SIM, STNK, maupun perlengkapan lainnya. Bahkan juga bangga bisa mengketapel mangga tetangga, mendapatkan mangganya, dan bangga bisa kabur ketika dikejar. Kebanggaan melanggar aturan itu terpupuk terus-menerus melalui pengalaman kecil-kecil. Dan itu menjadi cerita yg sangat membanggakan di hadapan teman-teman ketika bisa mengakali guru, kepala sekolah, satpam, dst.

Maka, sebenarnya tidak mengherankan ketika kita lantas menyaksikan orang-orang yang ditangkap KPK karena korupsi tampak ketawa-ketawa. Mereka juga bangga bisa melanggar aturan, bisa korupsi, dan baru ketangkap sekarang. Maka juga jangan heran ketika sekarang kita lihat para mahasiswa yg bangga mau demo meskipun ada larangan karena ada pandemi. Jangan heran ketika kaum agamis bangga dengan atribut agamis mereka melanggar aturan ketertiban umum.

Sejuta dalih bisa digunakan untuk mengungkapkan kebanggaan itu. Sebagai contoh, bangga melakukan ibadah secara demonstratif di jalan raya yang bikin macet, dengan dalih bahwa itu melaksanakan perintah agama. Bangga ketika berani menentang himbauan untuk tidak beribadah di tempat ibadah dengan dalih lebih takut aturan tuhan atau aturan agama dibanding aturan pemerintah. Bangga bahwa bisa melanggar aturan adalah bukti kesalehan dan ketaatan terhadap agama mereka. Dan kebanggaan itu makin membuncah karena dikompori oleh para pemuka agama mereka yang siap menyediakan dalil-dalil agama demi menentang aturan yang bertujuan untuk meredam pandemi ini.Tinggal simak saja berita tentang para pemuka agama yg membuat provokasi semacam itu.

Saya tidak tahu tentang psikologi massa, tapi tampaknya keberanian menentang aturan itu akan semakin besar apabila dilakukan secara berjamaah, beramai-ramai,  massal. Lebih bersemangat lagi bila penentangan itu  mendapatkan dukungan berupa transportasi, konsumsi, dan uang saku. Tentu kalau sudah dilakukan secara massal, dengan dukungan logistik, kita patut menduga bahwa ada yang memfasilitasinya, ada yang mengorkestrasinya, ada yang mengorganisasikannya. Ada semacam "event organizer"-nya, karena sebenarnya tidak mudah untuk menggerakan banyak orang.

Kerap terlintas pertanyaan, apakah sebenarnya bangsa kita ini tidak bisa diatur?

Banyak cerita dari berbagai orang yang pernah pergi atau tinggal di luar negeri, mereka bisa patuh dengan aturan yang diberlakukan di luar negeri. Misalnya aturan lalu-lintas, kebersihan, dst. Tapi kenapa begitu mereka kembali ke Indonesia, kebiasaan untuk patuh aturan yang sederhana dan sehari-hari seperti aturan lalu-lintas dan kebersihan itu, lantas hilang begitu saja?

Fenomena serupa juga dapat diamati pada orang asing yg tinggal di Indonesia.
 
Di Bali, misalnya, saya sering menyaksikan betapa para turis asing itu juga seenaknya melanggar aturan. Lihat saja kelakuan mereka di jalan. Ada berita juga bahwa pemerintah akan mendeportasi para warga asing di Bali yang bersikeras melanggar aturan prokes. Kenapa orang asing yang di negerinya pada bisa tertib, lantas kalau di Indonesia juga pada serampangan melanggar aturan? Jangan-jangan mereka melihat bagaimana cara kita sendiri tidak menghargai aturan negara yang diberlakukan, lantas mereka juga ikut mencontoh? Sangat masuk akal bila bangsa asing tidak menghargai aturan di negeri ini ketika bangsa kita sendiri juga tidak menghormati aturan yang kita buat dan kita berlakukan sendiri di negeri ini. Mereka akan berpendapat, buat apa mematuhi aturan ketika bangsa ini sendiri tidak patuh.
 
Maka, kemungkinan besar orang-orang kita yang lagi berada di luar negeri mematuhi aturan yang berlaku di negeri itu juga karena mereka melihat bahwa bangsa di negara mereka berada itu mematuhi aturan negerinya, dengan demikian mereka pun turut patuh. Selain kepatuhan warga, tentu ada faktor lain yang menentukan, yakni para penegak aturan. Setidaknya para penegak aturan di luar negeri cukup tegas dalam menegakkannya. Apalagi terhadap orang asing. Maka mudah dimengerti kenapa orang kita yang lagi di luar negeri juga patuh. Sebaliknya, di Indonesia, kerapkali aturan tidak ditegakkan sebagaimana seharusnya. Sering aturan mengikutu *)syarat dan ketentuan berlaku. Aturan ditegakkan terhadap yg lemah, tapi tumpul terhadap yang kuat. Dan itu bisa berlaku pada konteks kekuasaan, duit, maupun mayoritas.
 
Mudah disimak berita tentang bagaimana hukuman sangat ringan diberikan kepada koruptor maupun pelanggar hukum dengan kejahatan besar namun mempunyai posisi tawar yg besar, dan hukuman berat diberlakukan kepada yg lemah. Jangan-jangan, ketidakadilan yg secara terang benderang dipertontonkan dan dilihat oleh masyarakat secara luas itu lantas juga ditanggapi dengan sikap apatis, skeptis, masa bodoh, ndableg, dan ngeyel terhadap peraturan? Maka, memang sebenarnya sangat kompleks dan ruwet. Ada banyak hal yang saling terjalin dan terbelit-belit, hingga kita tidak tahu lagi akar dan kaitannya. 

Namun sejumlah bangsa Asia terbukti berhasil mengatasinya. Sebenarnya tidak jauh berbeda karakter bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di Asia. Cuma beberapa bangsa lain sudah berhasil membebaskan diri dari keruwetan yang terbelit-belit dan terjalin-jalin ini. Sekadar sebagai contoh. Bangsa Singapura sebenarnya tidak jauh berbeda dari kita. Banyak yg berasal dari Melayu. Banyak yang keturunan Chinese, Arab, maupun bangsa-bangsa lainnya. Namun bahkan Singapura berhasil meraih julukan "Mr. Clean of Asia". Kenapa bangsa Singapura bisa patuh dalam aturan publik, misalnya dalam hal kebersihan? Dari segi latar belakang, boleh dikata sama. Makanan pun mungkin tidak jauh beda. Lantas kenapa Singapura bisa berdisiplin dan kita tidak? Kenapa mereka bisa patuh, dan kita tidak? Orang China sebenarnya dulu juga terkenal jorok, suka meludah di mana-mana, bahkan terkenal dengan "hooekk cuuh"-nya. Tapi kini China menjadi salah satu negara yang maju dan tampak cukup disiplin, bersih, dan rapi, patuh. Orang mungkin akan berdalih, "Ya, tapi Singapura dan China itu melaksanakan politik tangan besi, kita tidak mau politik tangan besi". 

Tapi faktanya? Jangan-jangan agar bisa berdisiplin dan patuh aturan, bangsa kita pun perlu politik tangan besi?

Sebenarnya, ketika suatu aturan telah disepakati, penegakan secara tangan besi sah-sah saja. Tapi para penegak hukum sendiri juga harus bersih. Ketika para penegak hukumnya sendiri tidak bersih, masih bisa dibelok-belokkan, maka hasilnya hanya amburadul.
 
Lee Kuan Yew secara tertentu memang tangan besi. Tapi demi mendisiplinkan bangsanya, itu dia lakukan. Dan dia relatif cukup bersih. Dan kita sekarang menyimak hasilnya bangsa Singapura bisa menjadi seperti apa.
 
Pemerintah China juga tangan besi. Namun kita lihat juga bagaimana upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara tegas dan tangan besi. Dan hasilnya, China mengalami kemajuan yang sangat mencengangkan.
 
Maka, jangan-jangan bangsa kita ini cuma manja, mau seenaknya sendiri, tapi mau hasil yang baik. Kita kagum atau malah iri kenapa Singapura dan China bisa maju, tapi kita tidak mau mengikuti susah payah mereka untuk bisa meraih kemajuan itu.
 
Kenapa bisa begitu? Saya juga tidak tahu. Bisa dianalisis dengan membandingkan apa yg dilakukan/tidak dilakukan oleh Singapura dan China dengan apa yang kita lakukan/tidak kita lakukan. Dari situlah barangkali kita bisa melihat mana yang menjadi akar penyebabnya kenapa kita beda.
Perlu telaah yg komprehensif, atau cukup sekadar dengan pengamatan sekilas saja kita lantas bisa tahu apa akar penyebabnya.

Saya tidak mampu melakukan telaah seperti itu, bukan bidang dan kemampuan saya.

Kalau toh bisa saya kemukakan, barangkali hanyalah bahwa Singapura dan China tidak mementingkan agama dalam membangun bangsa dan negara mereka, sedang bangsa kita ini begitu mementingkan agama.

Hasilnya? Sama-sama bisa kita lihat. Apa ada korelasi di antara keduanya? Tidak tahu..

Copyright © 2011 - 2023 | isme1989