Antara Candaan Yang Serius, Ataupun Keseriusan Dalam Menertawakan Diri Dan Keadaan
 
“Laki-laki memang tidak menangis, tetapi, hatinya berdarah, dik.” atau disingkat LAKI-LAKI MEMANG TAEK

Dawuh almarhum Rusdi Mathari sepertinya akan langgeng dinikmati khalayak sejurus dengan banyaknya kegetiran terjadi dalam kisah cinta (khususnya di Endonesya). Entahlah, kalimat itu dijadikan sebagai candaan yang serius, atau pun sebagai keseriusan dalam menertawakan diri dan keadaan.

Ada fragmen yang hendak ditolak betapa pun amat representatif dengan jamak kehidupan sehari-hari. Mereka yang ‘kalah’, menguras emosi dan segenap pertahanan hati nyaris bahagia tapi mesti jatuh ditempeleng pedihnya kenyataan hidup.

Ada aroma maskulinitas yang dalam konstruksi sosial seolah mengatakan betapa menangis adalah perbuatan yang lemah. Ya, menangis barangkali memang tanda kelemahan. Tetapi, adakah orang ‘kalah’ yang berjuang sekuat tenaga terhadap apa yang dicinta tetapi tetap saja harus merelakan dan mengikhlaskannya, layak disebut sebagai orang lemah?

Namun, kita semua mafhum dengan aturan baku ini: Ada harga yang mesti dibayar dalam tiap perjuangan mendapatkan sesuatu, dan besarnya bayaran itu tidaklah mengurangi berbagai risiko yang mengikutinya

Lebih dari itu semua, kisah kegetiran cinta: Cinta yang tak berbalas, cinta yang kandas dan narasi-narasi tentang kekalahan atas cinta sebenarnya telah ada sejak mula sejarah kisah berkembang. Sebut saja Yusuf-Zulaikha, Laila-Majnun, Romeo-Juliet, Sitti Nurbaya: Kasih tak Sampai, Cinta tak Pernah Tepat Waktu dan sebagainya merupakan beberapa contoh betapa peradaban dunia selalu meninggalkan kisah cintanya yang serupa: lika liku cinta dan perjuangan keras atasnya, tak menjamin keberhasilan mendapatkannya.

Dalam khasanah musik, kita tentu akrab dengan lagu-lagu campursari gubahan Didi Kempot yang sarat akan ‘semesta patah hati’, yang oleh kelompok warganet muda sempat ditasbihkan sebagai Bapak Patah Hati (Godfather of Broken Heart). Hal tersebut bukanlah hal yang mengherankan. Sewu Kutha, Layang Kangen dan Tanjung Mas Ninggal Janji adalah lagu-lagu yang saya ingat betul terus diputar dan sejauh ini meninggalkan atau memunculkan kembali bercak-bercak ingatan patah hati pada khalayak pendengar sekalipun tanpa perlu mengalami yang namanya jatuh cinta.

Lagu-lagu yang saya sebut di atas tentu bukan karya sembarangan. Representasi ‘kegagahan’ perjuangan pada cinta nyatanya memang sering mendapatkan balasan yang tidak setimpal. Cinta kerap kali memiliki rupa yang bopeng lantaran selalu hadir dengan narasi yang nyaris selalu sama. Seseorang jatuh cinta pada orang yang ‘menjamin’ bahwa mereka betapa pun tak bakal bisa bersama, seseorang jatuh cinta pada orang yang ia tahu sebenarnya orang itu sama sekali tidak layak mendapatkan cintanya, seseorang jatuh cinta pada kekasih orang lain dan sialnya orang lain itu adalah orang yang dekat dengannya, dua orang saling jatuh cinta lantas gagal kepedihannya dirasakan bersama dan seterusnya, dan seterusnya.

Namun, kita dapat belajar dari kisah yang sudah-sudah: beberapa cinta memang tak dapat terselamatkan sekalipun telah diperjuangkan dengan segenap usaha. Beberapa cinta memaksa kita untuk tetap bungkam dan diam-diam terus merapal doa: berharap Tuhan memberi kesempatan untuk melempar dadu, sekali lagi.

Copyright © 2011 - 2023 | isme1989